Resensi Novel Jakarta Sebelum Pagi
Jakarta
Sebelum Pagi
Kisah yang
Dilubangi Ketidaksempurnaan
Judul : Jakarta Sebelum Pagi
Penulis : Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie (Ginger
Elyse Shelley/Zee)
Tebal : 270 halaman
Penerbit : Grasindo
Genre : Romance
Tahun terbit : 2016
ISBN : 978-602-375-484-7
Sinoć, kad se vratih iz topla
hamama,
Prođoh pokraj bašte staroga imama;
Kad tamo, u bašti, u hladu jasmina,
S ibrikom u ruci stajaše Emina.
Prođoh pokraj bašte staroga imama;
Kad tamo, u bašti, u hladu jasmina,
S ibrikom u ruci stajaše Emina.
-Emina, Aleksa Šantić-
***
Kisah
ini bercerita tentang Emina, gadis yang mendapatkan namanya dari sebuah puisi
(itu cuplikannya diatas), dia, ya, bisa dibilang, aneh, suka ngomongin babi-karena
pengaruh buku yang ia baca (Animal Farm)-, dan kadang-kadang suka ngelantur,
kepo pula. Gadis yang hidup diantara para jompo yang berjiwa muda.
***
Dimulai
dari kisahnya yang mendadak curhat ke Nissa, kawan seperkantoran sekaligus yan pi -kulit dim sum yang dibuat dari daging babi yang dipukul-pukul- -sejenis
panggilan sayang dari Emina untuk Nissa- kesayangannya tentang asal muasal
namanya yang ternyata berasal dari judul puisi tentang mbak-mbak yang rambutnya
wangi bunga hyacinth, bukan dari
merek kosmetik. Juga tentang karangan bunga yang dikirimkan padanya menggunakan
balon perak ke balkon apartemennya, dan kesemua bunga itu adalah bunga dari
puisi Emina, dan di salah satu batang bunga hyacinth
itu, terukir namanya, ‘Emina’.
Dan
kekepoannya yang teramat sangat membawanya masuk ke dalam toko bunga --juga sebagai kafe- di sebrang
apartemennya. Membuatnya bertembung dengan Suki, gadis kecil yang dewasa dan
pintar tapi bermuka masam, yang diam-diam telah memerhatikannya.
Belakangan
ini dalam karangan bunganya terselip sebuah surat.
Kekepoannya
jugalah yang membuat dia mengumpulkan keberanian yang enggak seberapa untuk
mencoba mengetuk pintu apartemen tetangga, pintu sang stalker, ketukannya yang pelan, dengan tak disangka, malah membuat
sang stalker terkena panic attack.
Ah,
bukan, bukan karena Emina jelek ataupun suaranya seperti kodok.
Dia
memunyai Ligyropobhia.
Dan
Haphephobia.
Sejak
kejadian itu, Emina dan Abel-si stalker-, menjadi lebih dekat. Bersama mereka
berusaha memecahkan misteri dibalik pengirim surat -yang rupanya tidak ditulis
Abel-, menjajaki tempat-tempat kenangan yang terlupakan oleh waktu dalam surat
pada dini hari, dan, ah, cinta tumbuh disini. Pencariannya terhadap penulis
surat membawanya menuju sebuah fakta, dan membeberkan cerita kasih yang tak
bisa dipersatukan karena ketidaksempurnaan.
***
Pada
buku kali ini kak Ziggy melakukan perombakan besar dalam hal gaya penulisan,
dari yang biasanya serius, sekarang pembawaannya lebih jenaka dengan perpaduan
dari bumbu-bumbu ‘khas Ziggy’. Dengan masih mempertahankan ciri khas darinya,
dengan luwes ia memberi pengetahuan dalam permainan ’nama’ tokoh-tokohnya. Ia
juga memberi kita pengetahuan dalam seluruh kisahnya, pengajaran dan terkadang
juga renungan.
“Haphephobia. Nama fobia terhadap
sentuhan itu haphepobhia. Dan, fobia suara itu namanya .... ” aku mengintip
layar ponselku sekali lagi, dan mencoba membaca nama penyakit itu dengan benar.
“Ligyrophobia”
-Hal
172-
Walaupun
sebenarnya ini adalah novel dengan genre romance, namun saya sebagai bukan
penikmat novel romance merasa nyaman membacanya karena novel ini tidak seperti
romance yang ada di luaran sana. Novel ini lebih banyak terfokus pada
keberadaan komedinya, namun, ketika pada scene
yang tepat, Ziggy sepertinya benar-benar mengerahkan segala kemampuannya untuk
membuat pembacanya tersipu dan cengar-cengir sendiri, walaupun adegan itu
segera dikacaukan oleh Emina sendiri.
“Kamu nggak takut
lagi?” tanyaku pelan, berusaha nggak terlalu girang.
“Masih,” gumamnya,
masih berkonsentrasi pada acara jabat jari raksasa dan kurcaci di atas bangku
taman.
“Tapi, yang lebih menakutkan dari apapun yang kita lakukan adalah kalau kita terus-terusan merasa takut.”
“Tapi, yang lebih menakutkan dari apapun yang kita lakukan adalah kalau kita terus-terusan merasa takut.”
“Ya. Tapi kamu harus
takut Allah”
Ucapanku membuat dia
melepaskan tanganku, tapi Abel tertawa keras mendengarnya.
-Hal
135 & 136-
Saya
rasa, ada beberapa kekurangan dalam novel ini, yang pertama penggunaan bahasa
yang agak terbelit-belit membuat pembaca yang tidak terbiasa dengan gaya bahasa
Ziggy akan kesulitan membaca. Kemudian, penggunaan kalimat kalimat dalam bahasa
Inggris yang membuat pembaca sedikit kesulitan, menimbang banyaknya kalimat
yang menggunakan bahasa Inggris. Dan yang terakhir adalah penokohan dari Abel
yang dirasa kurang ‘greget’ padahal
ia adalah tokoh yang memberi andil cukup besar dalam cerita ini, dan juga
penggambaran tokoh Abel yang kurang mendetail sehingga menyulitkan membaca
untuk berimajinasi mengenai sosok Abel.
Terlepas
dari semua kekurangan, novel ini layak dibaca menimbang banyaknya pelajaran dan
pengetahuan yang dapat kita ambil dari buku ini. Dan dapat saya pastikan
pembaca akan terhibur dengan gaya bahasa Ziggy dalam novel ini.
Komentar
Posting Komentar